Tiga Anak Perempuan Papi
Kisah kami berawal dari berkumpulnya kami di satu departemen organisasi yang sama, yaitu Kaderisasi. Tetapi, sebelum itu, kami juga berada dalam lingkaran liqo dengan mentor yang sama. Sehingga, intensitas pertemuan kami cukup kerap.
Aku mengenal kedua manusia itu sejak sebelum masa ospek. Kaka Ana Ahmilu Thoyyibah, aku mengenalnya sejak gathering pra ospek angkatanku, berawal dari percakapan sederhanaku padanya setelah makan "Kamu udah sholat ashar?" Dia menjawab belum, dan aku mengajaknya sholat bersama di mushola dekat tempat gathering kami. Aku dan dia sama sama orang yang kaku, tetapi saat itu, kami cukup nyambung berkenalan dan membicarakan beberapa hal. Dan bertemulah kami di kelompok liqo yang sama.
Kaka Ariqa Ayni Alfianita Subagyo, aku mengenalnya sejak kami daftar ulang. Sebenarnya aku lupa kalau kami pernah ngobrol saat daftar ulang, sampai pertemuan pertama di kelompok liqo, dia mengatakan banyak hal baik tentang kesan pertama pertemuanku dengannya. Kalau saja dia tidak bercerita panjang lebar, mendeskripsikan setiap detail proses pertemuan kami saat itu, aku bahkan tidak ingat sama sekali dengannya. Begitu jahatnya aku.
Ya, kegiatan kami di liqo tidak begitu banyak, hanya belajar ilmu tajwid, tilawah, hafalan, dan ada materi ceramah agama yang disampaikan mentor kami. Sehingga, intensitas komunikasi kami pun hanya sebatas itu dan pengalaman perkuliahan. Maklum saja, sat itu kami masih mahasiswa baru yang sangat polos dan baru menjajaki dunia kampus. Tetapi lewat mereka juga lah aku yang awalnya sedikit kecewa karena tidak lolos Sekolah Dinas, dan memaksakan hati untuk belajar di jurusanku, menjadi mulai menerima takdir ini dengan ikhlas dan berusaha maksimal mengembangkan diri.
Lalu, tidak lama berselang, kami memutuskan untuk mendaftar di organisasi yang sama, Seksi Kerohanian Islam. Di sinilah, awal mula kami memulai banyak dinamika bersama. Aku yang masih anak bau kencur diminta kepala Departemen, yang kemudian aku panggil "Papi" untuk menjadi sekretaris di departemennya. Aku bertugas membantunya menyusun dan mengarsipkan berbagai hal yang menjadi tanggung jawab departemen kami. Selama setahun, kami berinteraksi bersama, aku menjadi semakin akrab dengan Ka Ana, dengan Ka Ariqa. Apapun masalah yang kutemui, tujuanku bercerita adalah mereka. Kalau aku memerlukan bantuan apapun, tujuan pertamaku juga mereka. Bukan hanya persoalan departemen, tetapi juga tentang perkuliahan atau masalah sehari-hari. Kalau mereka bisa, pasti mereka membantu. Namun, jika tidak bisa, mereka membantu dengan cara lain. Ya, dua orang ini adalah dua orang yang sangat tulus. Aku beruntung memiliki mereka.
Kaka Ana orang yang sangat cuek sosial namun sangat peduli dengan orang terdekatnya, tegas, rasional, dan berpendirian teguh. Kaka Ariqa orang yang sangat keibuan, gercep (gerak cepat), cerdas, dan bagai ensiklopedia berjalan bagiku dan Kaka Ana. Berada di tengah dua orang ini, aku merasa sebagai adik kecil yang sangat bebas untuk manja, mengeluh, ceriwis, dan tentu saja paling bandel. Tetapi, mereka dengan sabar, telaten, dan bagai ibu peri, menetralkan tingkah lakuku. Perilaku baru yang mereka ajarkan kepadaku adalah berpelukan. Aku yang sangat membatasi kedekatan fisik dengan siapapun, mendadak jadi anak yang sangat suka menempel ketika bersama mereka. Dan lama-lama, aku pun menjadi terbiasa menempel jika ada bahu (perempuan) di sebelahku, ketika emosi menjadi terbiasa dengan pelukan agar bisa tenang, dan menjadi terbiasa dengan hal-hal yang sebelumnya asing.
Semoga Allah selalu melindungi mereka, dua Kaka tercinta 💜
Aamiin, you too
BalasHapus