Review Film POSESIF dan Refleksi Psikologi
(1) Review Film Posesif
Secara keseluruhan, kisah romansa yang ditampilkan membuat jantung dag-dig-dug, serius, tegang, dan tentu saja berbeda dengan kisah romansa remaja pada umumnya yang warna-warni. Permasalahan yang ditayangkan pun bukan sekedar permasalahan remaja SMA yang sedang mencari jati diri, konflik genk, atau tentang pacar. Namun, juga menayangkan konflik kekerasan, konflik dengan orang tua, hubungan yang tidak sehat antara anak dengan orang tua dan kedua tokoh utama itu sendiri. Yudhis diperankan sangat hebat oleh aktor kondang favoritku, Adipati Dolken. Dan Lala diperankan oleh aktris baru, Putri Marino. Putri sebagai pendatang baru sangat bisa mengimbangi peran Adipati.
Adegan film ini diawali dengan cerita perkenalan dua bintang utama, yaitu Lala si atlet loncat indah dan Yudhis si murid baru pindahan. Saat itu, Yudhis ditegur guru karena mengenakan sepatu yang melanggar aturan sekolah (ada corak putih di sepatunya) dan mengakibatkan sepatu Yudhis disita oleh guru dan dibawa ke ruang guru. Lalu, Lala yang sedang mengerjakan ujian susulan di ruang guru, melihat Yudhis ingin mengambil sepatunya diam-diam. Lala membantu Yudhis mengambil sepatunya saat guru penjaga tertidur. Sialnya, mereka ketahuan, dan akhirnya mereka dihukum lari di tengah lapangan dengan sepatu saling terikat. Kejadian inilah yang menjadi titik awal kisah mereka menjadi lebih dekat.
Suatu hari, Yudhis berhasil mengajak Lala untuk kencan bermodus jalan-jalan sepulang sekolah, dan Lala menyetujuinya. Mereka pergi ke suatu tempat dan berbincang basa basi untuk mengetahui satu sama lain. Dialog-dialog mereka seolah terlihat seperti percakapan remaja PDKT pada umumnya, namun, jika diperhatikan lebih detail, percakapan mereka penuh dengan kalimat-kalimat mendalam dan berkesan kuat. Mungkin pembuatan naskahnya juga melalui proses pemikiran mendalam agar film ini tetap seimbang dengan alurnya. Alur film ini mengalir seolah dipaksakan dan terlalu cepat, namun, tetap tidak mengurangi kualitas ceritanya.
Adegan-adegan yang disajikan begitu epik berikutnya adalah tentang tindakan posesif Yudhis yang mengalir begitu saja atas Lala. Tindakan tersebut bukan hanya sekedar seringkali menelfon Lala, melarang Lala bergaul dengan teman-temannya, bertanya detail kehidupan Lala, dan bahkan terkesan ikut campur, namun, sudah mengarah kepada kekerasan verbal dan fisik. Tindakan Yudhis mengarah pada simptom Psikopat. (Langsung buka buku DSM 5 yang berisi semua hal tentang psikopatologi wkwk). Yudhis sangat posesif atas Lala, walaupun sebenernya Yudhis selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Lala. Yudhis bisa missedcall sampai puluhan kali kalau Lala tidak mengangkat telfonnya. Yudhis bisa marah besar kalau Lala pergi main dengan teman-temannya. Yudhis sangat cemburu kalau Lala bergaul dengan laki-laki. Dan bahkan, Yudhis tidak segan melakukan physical abuse kepada Lala kalau mereka sedang bertengkar, walaupun akhirnya Yudhis "sadar" karena melukai Lala dan meminta maaf (ampun). Di ujung akhir, ada scene yang mengungkapkan kalau Yudhis mengakui dirinya tidak bisa mengontrol emosi dan agresi fisiknya. Sehingga Yudhis ingin putus dengan Lala. Lala yang sudah terlalu jatuh cinta pada Yudhis tidak bisa melepaskannya dan meyakinkan Yudhis atas mimpi-mimpi mereka. Namun, itu hanya sekedar menjadi mimpi Lala, mimpi yang dipatahkan oleh Yudhis saat itu juga karena tiba-tiba Yudhis meninggalkan Lala. Akhir dari film ini sukar ditebak dan membuatku gemas, karena adegan akhirnya ngambang, nggak jelas, dan memunculkan kesan "lhoh, trus gimana?" atau "lhoh, kok udah tamat? emang udah selesai". Ya, memang produsernya, Meiske Taurisia, merupakan produser yang sering menggarap film-film bergenre indie, sehingga, penikmat film indie mungkin sudah terbiasa. Lah aku? Aku justru gemas dengan akhir yang tidak jelas begitu.
Kedua tokoh ini sebenarnya memiliki latar belakang keluarga yang mirip. Ayah Lala adalah orang yang "memaksa" Lala untuk menjadi seorang atlet loncat indah seperti Almarhumah Ibunya. Mama Yudhis juga merupakan mama yang sangat mengatur kehidupan Yudhis, mengekang, dan sangat posesif atas Yudhis. Mamanya selalu berdalih bahwa dia adalah orang yang paling mengerti Yudhis dan paling tau apa yang terbaik untuk Yudhis. Kedua keluarga ini sebenarnya adalah keluarga yang tidak ideal untuk kesehatan mental anak, terutama Ibu Yudhis yang tidak bisa diajak berkomunikasi. Namun, adaptasi yang dilakukan Lala dan Yudhis berbeda. Lala tumbuh menjadi remaja yang "lebih normal" daripada Yudhis. Yudhis menjadi remaja yang justru "sakit" secara psikologis.
Kita bisa belajar bahwa kejadian-kejadian pada film ini mungkin saja sangat dekat dengan kehidupan kita. Pelajaran pertama adalah anak yang memiliki perilaku berbeda (deliquency) merupakan salah satu dampak dari pendidikan yang diterapkan oleh orang tua. Memang, tidak semua anak akan memunculkan perilaku tersebut, tergatung respon dan adaptasi yang dimiliki anak. Tetapi, pendidikan dari orang tua sebagai pendidikan pertama dan utama seorang anak, memegang peranan besar bagi tumbuh kembang anak.
Pelajaran kedua adalah seseorang bisa terjebak dalam hubungan romantisme yang tidak sehat. Tidak sehat di sini mungkin lebih aku arahkan ke hubungan Lala dan Yudhis yang sangat rawan dengan kekerasan, baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik yang berdampak buruk pada kehidupannya. Jika terjebak dalam hubungan yang tidak sehat seperti ini, walaupun berdalih sudah cinta mati pun sebaiknya ditinggalkan, untuk menyelamatkan kesehatan mental dan juga fisik. Jika tidak bisa melepaskan diri sendiri, sebaiknya meminta bantuan orang lain untuk "melindungi diri". Aku sepakat dengan Yudhis yang mengakhiri hubungannya dengan Lala, karena itu demi kebaikan mereka bersama. Mungkin jika hal seperti ini terjadi di lingkaran sosial kita, kita bisa membantu mengambil sikap.
--oo--oo--oo--oo--oo--
(2) Sesi Refleksi!
Aku pun begitu, belum genap satu minggu aku menyaksikan film ini, aku mendapatkan cerita dari salah satu lingkaran kawanku. Dia bercerita panjang lebar tentang sikap pacarnya (udah 3 tahunan pacaran) yang posesif banget (sampe jalan sama kakak kandung cowoknya aja cemburunya minta ampun), sering kekerasan verbal (walaupun belum sampai kekerasan fisik, karena ketika emosi selain ngumpat yang cewek, dia menghantamkan tangan ke tembok untuk meluapkan emosi), tidak bisa mengontrol emosi, sering ngelantur, dan beberapa hal lain yang tidak bisa kuceritakan di sini. Keluarganya pun bukan keluarga yang harmonis dan ideal, keluarganya tidak sehat. Setelah melakukan katarsis dan berbincang panjang lebar, aku tetap menyarankan agar dia meninggalkan pacarnya, perlahan.
Lalu, ada pertanyaan menarik darinya, "Kalau ditinggalkan, bagaimana dengan nasib doi yang punya simptom psikopat itu? Dia seolah udah bergantung banget ke aku" Jawabanku sederhana, hanya doakan yang terbaik, paling tidak selamatkan diri sendiri.
"Kalau aku tinggal dia, dia colapse gimana?" Urusan nanti, menurutku dia tetep bisa survive atau cari orang lain.
"Kasian orang lain itu juga dong?" Iya, tapi lebih kasian lagi kalo orang lainnya itu kamu.
"Berarti aku egois?" Ya! Nggak ada salahnya buat jadi egois daripada tersiksa nantinya. Berat loh!
"Tapi dia korban dari keluarganya yang begitu!" Korban bisa jadi pelaku itu ada teorinya, namanya cycle of violence (dan aku jelaskan secara singkat tentang teori itu), dan kamu juga bisa jadi korban. Mau?
"Enggak!" Nah!
"Tapi, apa dia nggak berhak bahagia?" Berhak dong
"Berarti dia tetep berhak sama aku" Tentu aja dia berhak, tapi apa kamu kuat ngehadapin sikapnya yang selalu begitu ke kamu? Enggak kuat gitu!
"Tapi,..." Apa lagi? Lama-lama kamu kena sindrom Stockholm nih!
"Apa itu?" Itu istilah psikologi yang digunakan buat menyebut korban, atau kamu calon korban (Naudzubillah) yang merasa iba, suka, sayang, ngedukung pacarmu yang jadi calon pelaku itu (Naudzubillah)
Pertanyaannya hanya berulang di aspek-aspek itu saja, sampai akhirnya dia menghela nafas dan bilang "sebenernya iya, aku butuh pendukung buat ninggalin dia, butuh orang yang bisa ngeyakinin kalo aku bener mau ninggalin dia, ngejawab pertanyaan-pertanyaan aneh yang selalu muncul kalau aku mau ninggalin dia".
Jadi, sekali lahi, kita perlu mengambil sikap untuk mendukung korban (dan calon korban) serta memutus cycle of violence di lingkaran kita!
Mau tanya kak, kenapa kakak bisa bilang kalo Yudhis adl psikopat?? Sementara Yudhis sendiri (memang) sadar dan selalu menyesal akan tindak kekerasan yang dia lakukan ke Lala? Mengacu pada simptom no 7. psycoptah dalam DSM-V "Lack of remorse, as indicated by being indifferent to or rationalizing having hurt, mistreated, or stolen from another." CMIIW kak. Mohon responnya
BalasHapus