Perjalanan Akhir Pekan

Di suatu Minggu pagi, di deretan kursi untuk menunggu kereta, aku menunggu kereta yang akan membawaku pulang. Lalu, ada perempuan bermasker, berjalan di depanku sambil telfon, sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, kuhitung setiap kali dia melintas. Sampai akhirnya dia duduk di sampingku.
"Turun mana Mbak?" Tanya ibu paruh baya itu kepadaku. Tidak begitu antusias aku menanggapinya, karena memang dia sedang dalam percakapan via telpon dengan seseorang di sana yang dipanggilnya berkali kali dengan sebutan "beb".
"Ah saya Jombang Buk. Ibuk?" Kucoba kembali bertanya untuk membangun percakapan.
"Aku Jombang juga Mbak. Tapi turun Tarik dulu."
Aku mau menimpali, tetapi justru aku diacuhkan dan Ibu itu kembali bercakap dengan "beb"nya. Ah yasudah lah!
Setelah beberapa saat, ibu itu kembali bertanya, "Mbak kuliah ta?"
Aku sudah tidak begitu selera menanggapi dan akhirnya kujawab singkat, "Iya Buk"
"Jurusan apa Mbak?"
Untuk beberapa detik aku bingung harus menjawab jujur atau justru tidak kujawab. Yaudah! Kujawab jujur saja sambil menyunggingkan senyum yang menyiratkan Bu, jangan curhat dulu, saya sedang jenih.
"Psikologi"
Benar saja, dengan keponya Ibu itu langsung bertanya, "Mbak, Mbak kan psikologi ya? Pasti tau anak ini kenapa. Ini saya ada cerita, muridnya teman saya itu di kelas geraknya aktif sekali, susah dibilangin, ndak bisa diam. Kenapa ya Mbak?"
Ah sial! Aku menyesal menyebut istilah psikologi. Kutanya balik.
"Umur berapa buk? Susah dibilangin ini maksudnya gimana?"
"Nggak tau ya Mbak, ini muridnya teman saya. Pokoknya gitu. Lha kan mbak anak psikologi. Harusnya bisa tau dong kalo dicurhatin orang kayak gini. Bisa ngerti anak itu kenapa."
Dalam hati aku mengumpat! Lha? Kenapa jadi nada tinggi ya Bu? Informasi yang ibu itu berikan cuman sekedar itu aja, murid temannya pula!
"Ya saya ndak tau Buk anaknya kenapa"
"Loh mbak kan psikologi?"
Kenapa ibuk ini malah nyolot sih?
"Ibuk, pertama, itu murid teman ibuk, ibuk ndak tahu gimana anaknya sebenarnya. Ya terus kenapa malah tanya ke saya? Buat apa juga? Kedua. Namanya anak-anak Buk. Ibu aja ndak tau umurnya berapa. Anak-anak sangat wajar kalau aktif sekali melakukan ini-itu, ndak bisa diam, susah diberitahu (apalagi kalau pake teriak2 aja)."
"Tapi kan harusnya orang psikologi paham anak ini punya masalah"
"Ibu cuman bilang begitu, saya bukan dukun buk yang bisa nerawang seaktif apa anak ini, bagaimana interaksi anaknya dengan orang di sekitarnya, bagaimana cara dia belajar, seberapa paham dia dengan pelajaran."
"Ah, mbak bisa aja"
Dan, langsung dia pergi tanpa pamit, cari tempat duduk lain di ujung sambil pakai headset.
Yaudah lah!
Tidak sekali dua kali aku mendapatkan pertanyaan begitu. Sekalinya orang tau kalau aku anak psikologi, pasti bermunculan berbagai cerita curhatan, dari mulai masalah sehari-hari, anaknya, tetangganya, sahabatnya, pun pernah ada bapak-bapak curhat tentang istrinya dan kehidupannya yang sudah di ujung perceraian. Entah sudah berapa kali aku menguatkan telinga, hati, dan menjaga senyum untuk tetap menanggapi semua cerita-cerita itu.
Walaupun, kadang memang ada anak remaja yang ingin tahu apa itu psikologi, belajar apa saja, nanti ke depan perjalanannya bagaimana. Dengan sumringah aku coba mempromosikan psikologi kepada mereka. Pun tentang seabrek beasiswa yang tersedia agar mereka mau kuliah.
Ah, tidak terasa, kereta yang aku tunggu sudah datang. Aku meninggalkan stasiun itu, melangkah menuju keretaku. Mencari tempat dudukku. Dan duduk di tempat favoritku, dekat jendela.
Perjalanan ini terasa lebih lama daripada biasanya. Tempat tujuan terasa lebih jauh. Padahal aku sudah melalui jalan ini berkali-kali selama 4 tahun terakhir. Ya, karena memang letaknya tidak lebih dari 100km, aku sering sekali pulang-pergi melalui jalan ini. Seringkali bertemu berbagai macam orang dan bentuk percakapan ringan.
Rumahku masih jauh, masih beberapa puluh menit lagi! Kucoba menikmati perjalanan ini, sendiri.
KRD-29 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar