Cerpen : Pembicaraan Tak Berujung (1)
Ah! Lagi-lagi kau benar. Orang-orang yang menyayangiku tidak akan marah atau menaruh kecewa atas kegagalanku. Tapi izinkan aku egois menyangkal bahwa tetap saja harga diriku akan hancur ketika aku menjumpai kegagalan. Dan paaasti mereka pun akan kecewa dan bertanya mengapa bisa begini. Aku harus jawab gimana?
"Ya gitu kalau nggak pernah gagal, kesandung dikit aja udah down."
"Iya, tapi aku sudah malu, harga diriku hancur, planningku semuanya meleset, aku nggak sanggup menghancurkan semua harapan dan ekspektasi mereka"
"Kayak orang lain nggak pernah mengalami hal seperti kamu aja! Udahlah, orang lain yg pernah nemuin kegagalan pun bisa bangkit. Kamu pun bisa. Yang penting masih nyimpen keyakinan. Yakin kalo kamu bisa nyelesein semuanya baik-baik. Aku lho yakin kamu bisa."
"Iya tapi...."
"Apa?"
"Aku nggak tau... Oh ya, bagaimana pekerjaanmu?"
"Nggak usah bahas pekerjaan, nggak usah mengalihkan pembicaraan, pekerjaanku gampang, nggak perlu diurus, toh tujuanku bekerja keras selama ini justru berniat menghilang!"
Lengang. Percakapan via telpon itu menggantung di udara, tidak ada yang angkat suara sampai beberapa menit terlewat begitu saja.
"Dengarkan aku"
Akhirnya dia tetap yang mulai bersuara. Ya, aku memang salah karena meninggalkannya begitu saja, tanpa ada kesepakatan berdua. Tapi aku pun sedang tidak dalam kondisi yang bisa diajak bicara. I'm stressed! Aku mau egois bilang ke semua orang, pliisss, pahami aku! Entah mengapa dia tetap ada di sana, memandangku sebagai salah satu orang penting di hidupnya, berusaha bertanya, dan tak mau melepaskan aku pergi, walaupun aku sudah meminta.
"Aku punya keyakinan, kamu pun harus punya. Tidak memaksa, tapi memang itu yang bisa membuat kita bertahan di tengah semua masalah dan mungkin kegagalan. Kita sudah berjalan sejauh ini, dan kita perlu bertahan sedikit lagi. Selesaikanlah urusanmu, selesaikan masalahmu, kalau kamu keberatan aku membantu, aku janji tidak akan mengganggu. Tapi, kalau perlu apapun, kamu bisa datang menemui ku, atau mengirim pesan pun tak apa."
Setelah diam sejenak, dan melanjutkan potongan kalimatnya.
"Aku memberimu waktu, terserah, semaumu dan sebutuhmu. Tapi tidak untuk melepaskanmu, aku tidak mau. Kamu jangan jadi orang yang tega memutuskan tentang kita dari sudut pandangmu saja. Masih ada aku yang bisa kamu ajak bicara. Kamu tau sendiri, selama ini, aku selalu membicarakan rencanaku pun melibatkan mu. Aku berharap kamu pun begitu. Jangan dipendam sendiri. Jangan disimpan sendiri. Karena pasti aku yang juga kena dampaknya. Bicarakan baik-baik."
"Hmm. Pokoknya tetap gitu"
"Kamu tega"
"Aku sudah bukan tega lagi, aku jahat. Bener kan?"
Percakapan menggantung lagi. Tidak ada yang bersuara lagi. Entah aku harus merespon bagaimana. Tapi, aku senang, setidaknya bagi satu orang ini, aku merasa jadi orang yang berharga. Entahlah takdir membawa kita ke mana...
Aku tetap bungkam, dia pun diam. Hanya suara nafas panjang dan "huh" yang berkali-kali terdengar. Sama. Aku pun hanya bisa begitu. Tidak ada yang mau mematikan telpon, sampai aku tertidur lelap di sini hari itu.
Pukul 4 lebih, waktu Subuh Ibu Kota Jakarta, aku mendapatkan telpon darinya, hanya untuk membangunkanku sholat subuh. Tidak ada percakapan lebih.
Entah, kapan percakapan tidak berujung ini berlanjut.
Thanks for always being my sunshine, capt.
Kamar tidur, 28 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar