Rahmat's Children


Kali ini aku akan menceritakan tentang keluargaku di kampus, anak-anak Papi Rahmat Hartanto. Aku menceritakan penggalan kisah mereka masing-masing dalam beberapa tulisanku sebelum ini. Aku pernah bercerita tentang Papi, pernah tentang cerita tentang tiga anak perempuan papi, tapi belum pernah bercerita tentang anak laki-laki papi. Keluarga papi ini terbentuk karena kami pernah satu departemen saat ikut organisasi yang sama, Kerohanian Islam Fakultas Psikologi, Unair. Dan, Papi pernah bilang bahwa kekeluargaan kami harus selalu terjaga, karena keluarga bukan sekedar karena ikatan darah, namun bisa juga karena ikatan ukhuwah. Cie

Okey, aku akan menceritakan satu per satu dari mereka. Sebelum anak-anaknya, aku akan menceritakan kepala keluarganya, yaitu Papi Rahmat Hartanto. Aku suka sekali menyebutnya sebagai orang yang idealis tapi realistis, karena memang itu yang sering diajarkan papi. Papi juga “mendidik” kami untuk percaya pada diri sendiri, melakukan apapun atas dasar diri sendiri dan Allah, bukan orang lain. Beberapa kali pembahasan tentang ini selalu menarik. Guyonan yang dilemparkan papi cenderung receh, mutlak bisa mengundang gelak tawa kami saat rapat atau kopi darat. Berhubung usianya sudah 2 tahun di atasku, aku jadi suka menggodanya untuk segera mencari Mami untuk kami. Hehe. Begitulah, papi yang selalu mengelak sering berakhir speechless atau cuman lempar senyum kalau sudah kudesak begitu. Sampai sekarang pun, aku masih sering curhat dan cerita macam-macam dengan Papi. Bagiku, pertimbangan dari Papi cukup penting, karena dia sering melihat dari sudut pandang yang berbeda denganku. Oke, lanjut ke anak-anaknya...

Yang pertama, Ana Ahmilu Thoyyibah, anak perempuan papi yang pertama. Aku pernah menyinggung kisah hijrahnya di tulisanku tentang Kisah Hijrah Seorang Muslimah, aku juga pernah menyinggung di tulisan tentang Anak Perempuan Papi. Seperti yang selalu kuceritakan dia adalah perempuan yang sangat cuek dengan lingkungannya sekaligus sangat peduli dengan orang di lingkarannya. Aku selalu kagum dengan keinginannya yang keras dan mantap. Dia juga anak yang mau bekerja keras untuk mencapai apa yang diinginkannya. Skripsi dia adalah skripsi paling rempong pada periodenya, dan dia benar-benar mampu menyelesaikannya dengan baik. Keikhlasannya membantu dan melakukan sesuatu untuk orang lain pun menginspirasiku untuk melakukan hal yang sama. Dia adalah orang yang selalu konsisten pada pilihannya, walaupun dihadapkan pada berbagai kesulitan dan keterbatasan, dia benar-benar mau berusaha untuk tetap bertahan dan menjalani keinginannya dengan ikhlas.

Yang kedua, Ariqa Ayni Alvianitas Subagyo, anak perempuan papi yang kedua ini sangat keibuan dan suka sekali menebarkan cinta kasih di sekitarnya. Tidak jarang banyak yang memanggilnya Bunda, Mama, Ibu, dan sebutan ke-emak-an lainnya, hehe karena memang itu merepresentasikan kasih sayang emak-emak. Bagaimana tidak, mulai dari makanan, perhatian, nasihat, apresiasi tinggi, kepercayaan, dan banyak hal lain dia berikan ke rekan-rekannya secara cuma-cuma. Dia juga anak yang sangat rajin, di saat aku masih belum memikirkan ide apapun, dia sudah jalan setengah fase. Di saat aku masih baru mulai, dia sudah selesai editan terakhir. Di saat aku cuman 3 halaman, dia bisa mengerjakan 15 halaman, haha. Telak, selain rajin dia juga anak yang cerdas. Aku suka sekali mengandalkannya untuk memberikan materi di beberapa tutor yang kuadakan saat aku menjadi pengurus BEM. Dia juga andalanku di banyak tempat dan peran. Seringkali, dialah inisiatornya, aku adalah pelaksana sekaligus evaluatornya.

Ketiga, Mohammad Hafidz Ali. Aku mengenalnya sejak kami persiapan untuk pengumpulan perlengkapan angkatan pra PsychoCamp (rangkaian acara pengaderan di fakultas). Kalau tidak salah, saat itu dia dan aku mencari bak untuk barang angkatan yang harus disetorkan. Dan ternyata dia juga direkrut oleh Papi di departemen kaderisasi. Dulu dia bukan orang yang banyak bicara, sampai akhirnya kaderisasi memintanya menjadi orang yang mau “speak up”. Ternyata oh ternyata, dia benar-benar berubah dan selanjutnya agak kebablasan, hehe. Dia sekarang cerewet. Dia sering membantuku dalam banyak hal. Kalau aku sedang membutuhkan bantuan laki-laki, biasanya dia akan masuk di daftar pertama orang yang kuhubungi untuk aku repotin. Aku bersyukur karena dia juga orang yang bertanggung jawab sekaligus orang yang selalu ikhlas menolong rekan-rekannya. Hafidz orang yang sangat baik.

Keempat, Muhammad Taufik Akbar. Aku mengenalnya pertama kali saat pertemuan departemen. Saat itu dia adalah sosok yang sangat misterius, cukup irit bicara, tapi terlihat memiliki karakter yang hebat. Ternyata, aku juga bertemu dengannya di komunitas badminton. Dia jago main badminton, Hafidz juga sih. Mereka keren kalau sedang main badminton, walaupun Taufik lebih keren haha. Mereka cukup dekat sebagai teman. Saat KKN, aku mengajak Taufik untuk satu kelompok denganku ke Pulau Mandangin, karena aku membutuhkan sosok seperti dia, sebagai orang yang kuandalkan pastinya, karena aku tidak begitu kenal dengan orang-orang di kelompok itu. Pikirku, paling tidak, ada orang yang cukup kukenal. Deal! Dia tidak mengiyakan dan tidak menolak, begitulah karakternya. Aku tetap menuliskan namanya, dan dia berangkat haha. Benar! Setidaknya aku punya teman yang kukenal, sebelum KKN, Taufik orang yang sering aku repotin kuajak menemui dosen pendamping dan mondar mandir. Entah sejak hari ke berapa KKN, dia menjadi sosok yang berbeda. Dia ternyata anak yang sangat menyenangkan, kalau ada dia pasti mengundang gelak tawa orang di sekitarnya. Dia juga sangat bisa aku andalkan, dan –aku benar-benar bersyukur Taufik mau ikut kelompok KKN yang kuinginkan, Mandangin-. Seminggu kami di sana, dia banyak mendapat pujian dan perhatian dari Ibuk, para tetangga, ketua karang taruna, dan anak-anak di sana. Dia benar-benar mengerti bagaimana memposisikan diri sebagai anak laki-laki di rumah yang kami tinggali. Dia anak yang tidak pernah absen sholat di masjid, dan paling semangat mengingatkan kami untuk sholat. Dia orang yang disiplin dan sangat bertanggung jawab. Aku benar-benar melihat Taufik yang berbeda dari yang kutau selama ini. Aku pun jadi lebih nyaman ngobrol dengannya, maklum dulu aku sangat segan. Saking nyamannya, aku lepas kontrol. Saat keluarganya berkunjung ke Mandangin, aku bercerita panjang lebar tentang Taufik di sana, yang membuat Taufik tidak terima, dan marah. Aku tidak menceritakan keburukannya sama sekali, aku justru bercerita betapa hebatnya Taufik. Kenapa dia marah? Ya, dia marah padaku! Aku dicuekin seharian! Setelah aku meminta maaf, aku ngobrol dengannya pelan-pelan. Ternyata memang aku yang salah, dan kami bisa baikan, normal seperti hari-hari sebelumnya. Setelah KKN selesai, aku merasa Taufik adalah keluarga yang sangat baik, sangat baik.

Ah, aku harap aku tidak cerita berlebihan tentang mereka. Tapi memang bagiku, mereka selalu spesial. Mereka luar biasa. Karakter masing-masing orang berbeda, tapi kami memegang prinsip yang sama,”kalau sudah sepakat, berangkat. Ada halangan, sikat. Tak perlu bla bli blu”. Aku bersyukur mengenal dan memiliki mereka dalam lingkaranku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibuk

Bapak

Adek