MEA, Sebuah Ancaman atau Peluang?


Pembahasan mengenai MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN masih hangat menjadi perbincangan di Indonesia. Banyak opini yang muncul dengan adanya perjanjian ini. Ada yang memunculkan isu pro dengan berbagai alasan positif dan menyanggupi untuk bersaing dengan masyarakat internasional di wilayah ASEAN. Namun, ada pula yang berpendapat kontra dan cenderung menolak perjanjian ini dengan alasan ketidaksiapan bersaing dan potensi menyempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia.
Sebagai pihak kontra, beberapa orang menyebutkan bahwa di Indonesia dengan masyarakat Indonesia sendiri, persaingan yang terjadi di dunia kerja dan perdagangan akan semakin sulit. Apalagi ditambah dengan jumlah persaingan dari masyarakat luar negeri di kawasan ASEAN. Persaingan ini terasa semakin sulit. Semakin banyak masyarakat ASEAN yang bekerja di Indonesia akan memperkecil lapangan pekerjaan dan menambah jumlah pengangguran. Indonesia dianggap belum siap menerima persaingan dan “serbuan” dari luar negeri dengan dalih rendahnya kompetensi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Beberapa masyarakat Indonesia merasa “dijajah” tenaga kerja asing. Padahal, kalau dilihat lebih jauh dalam hal ketenagakerjaan luar negeri, rasanya Indonesia banyak sekali mengirimkan TKI dan TKW ke beberapa negara, seperti Saudi Arabia (sekitar 7 ribuan orang) dan Malaysia, namun hal ini tidak lantas membuat Indonesia menjadi “penjajah” negara tersebut. Karena memang tenaga kerja yang tersedia bukan hanya tenaga kerja terampil, tetapi juga yang tidak terampil dan tidak terdidik.
Namun, jika kita mau merubah mind set kita menjadi sedikit lebih optimis, maka kita bisa melihat bahwa sebenarnya kita mampu bersaing dengan masyarakat luar negeri. Kita bisa merubah tidak hanya berdiri di posisi bertahan, namun maju dan menjadi posisi penyerang. Ketika banyak masyarakat yang masuk ke Indonesia, tentunya masyarakat Indonesia pun memiliki kemampuan dan kesempatan untuk pergi dan bersaing ke luar negeri juga. Dengan demikian kita juga ikut berdinamika di dalam proses persaingan, bukan sekedar menerima dan menunggu “serbuan” tenaga asing.
Berdasarkan beberapa literatur, beberapa perusahaan memang lebih memilih tenaga kerja dari luar negeri, seperti Hongkong. Alasan ini diambil karena tenaga kerja Hongkong mau dipekerjakan secara outsourcing dan tidak banyak menuntut. Jika dibandingkan dengan tenaga kerja Indonesia yang terkesan banyak menuntut. Setiap hari buruh diperingati, maka tuntutan utama adalah hak kenaikan gaji dan penghapusan sistem outsourcing. Tidak hanya setiap hari buruh, tetapi ketika ada ketidakcocokan dengan perusahaan, maka, jalan yang diambil adalah mogok kerja dan berdemo.
Saya tidak bermaksud menjelekkan tenaga kerja di Indonesia, namun, saya hanya memberikan gambaran umum keadaan tenaga kerja di Indonesia, terutama buruh. Hal ini saya harapkan bisa menyadarkan buruh dan tenaga kerja, terutama di Indonesia untuk meningkatkan kompetensi dan kesungguhan dalam bekerja.

Mari kita siapkan diri kita masing-masing untuk posisi penyerang. Sehingga kita pun akan aktif bersaing dengan tenaga kerja asing. Tidak akan ada yang merendahkan kompetensi tenaga kerja Indonesia jika kita mau bekerja dengan sungguh-sungguh. Karena ilmu pengetahuan sudah baik dan penyediaan latihan keterampilan kerja sudah banyak tersedia. Kita bisa memanfaatkan dengan baik untuk kemajuan negara Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibuk

Bapak

Adek