Resensi Buku "Rindu" karya Tere Liye




JUDUL BUKU                   : Rindu
PENGARANG                   : Tere Liye
PENERBIT                        : Republika
JUMLAH HALAMAN      : 544 + ii
BULAN-TAHUN TERBIT: Cetakan XII, Februari 2015


Cerita berawal dari setting Indonesia yang saat itu sedang berada dalam jajahan Belanda. Sebuah kapal penumpang besar Blitar Holland yang akan mengangkut orang-orang islam Indonesia yang akan pergi Haji selalu ditunggu oleh masyarakat di sekitar pelabuhan pada setiap tahun. Di buku ini, ada beberapa pelabuhan yang menjadi setting tempat dalam cerita, namun yang menjadi setting tempat utama adalah kapal Blitar Holland sendiri. Banyak kisah yang terjadi selama perjananan, berawal dari Makasar, menuju ke Jedah, dan sampai kembali lagi ke Makassar.
Dalam perjalanan panjang tersebut, perlahan-lahan tokoh dalam kisah ini diperkenalkan. Beberapa tokoh yang memiliki peran signifikan diantaranya adalah Daeng Andipati , Ana dan Elsa (anak Daeng Andipati), Guruta Ahmad Karaeng, sepasang kakek nenek yang saling mencintai, Ambo Uleng si pemuda pelaut, Bonda Upe yang menjadi guru mengaji, dan Kapten Philips yang merupakan pemimpin kelasi kapal tertinggi.
Perjalanan yang dimulai dengan pengenalan tokoh Daeng Andipati yang merupakan orang kaya raya dan terkenal dengan kesuksesannya dalam bisnis perdagangan rempah-rempah. Daeng Andipati berangkat haji bersama dengan istri dan kedua anaknya, Ana dan Elsa. Kemudian dikenalkan pula sosok Guruta yang berperan sebagai ulama masyhur yang sangat disegani pada masa itu. Guruta juga dianggap sebagai penjawab segala pertanyaan yang dimiliki oleh seseorang karena memiliki ilmu yang luas dan bijaksana. Di cerita ini, Guruta yang dianggap sangat bisa mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk memberontak mendapatkan perlakuan khusus dan ketat dari tentara Belanda yang berjaga di kapal haji Blitar Holland.
Kemudian dimunculkan  tokoh Ambo Uleng. Ambo Uleng adalah pemuda yang melamar pekerjaan menjadi kelasi kapal Blitar Holland karena ingin pergi jauh dari kampung halamannya dan mencari ketenangan. Awalnya, Kapten Philips, nahkoda sekaligus pemimpin para kelasi tidak mau menerima Ambo Uleng karena tidak memiliki pengalaman yang cukun dengan jenis kapal Blitar Holland. Namun, karena Ambo Uleng memaksa dan bersedia untuk tidak dibayar selama bekerja, maka akhirnya Kapten Philips menerimanya.
Perjalanan dimulai dari Pelabuhan Makassar dengan suasana yang menyenangkan dan terus mengalir dengan alur maju. Kapalpun mulai menuju Pulau Jawa dan berlabuh di Surabaya, Semarang, dan Batavia (sebutan Jakarta saat itu) sampai ujung barat Indonesia, Aceh, Kota Serambi Mekkah. Dalam setiap pemberhentian di pelabuhan selalu ada cerita yang menarik.
--o0o--
Setelah melampaui setengah bagian cerita, barulah muncul pertanyaan serius yang dilontarkan Bonda Upe. Dengan latar belakang sebagai mantan pelacur, Bonda Upe merasa rendah diri dan menutup diri dari jamaah lain. Bonda khawatir Allah tidak akan menerimanya di tanah suci dan menganggapnya tidak berhak menginjakkan kaki di Mekkah. Semua kenangan masa lalunya yang kelam seolah menjadi tembok kuat yang melarangnya menghadapi kehidupan saat ini dan membuat Bonda menarik diri dari lingkungan sosialnya. Apalagi sewaktu turun di Batavia untuk makan bersama Guruta dan Keluarga Daeng Andipati, Bonda disapa salah satu teman yang dulunya sama-sama bekerja sebagai pelacur. Saat itu perasaan Bonda Upe sangat hancur dan bahkan tidak ingin bertemu dengan siapapun.
Setelah akhirnya mau ditemui oleh Guruta, Bonda menceritakan seluruh anteseden dan kisah saat Bonda menjadi pelacur selama 15 tahun. Bonda berharap dengan menceritakan seluruh kisahnya, Bonda merasa lega dan berharap Guruta bisa menjawab pertanyaan besar dalam hidupnya. Pertanyaan tentang kekhawatirannya apakah Allah akan tetap menerimanya di tanah suci dan apakah Allah akan memaafkan segala kesalahan Bonda selama itu.
Setelah mendengar dengan seksama penjelasan Bonda Upe dan suaminya dengan sesekali Bonda Upe menyeka air matanya, Guruta memulai tanggapannya dengan menyampaikan rasa simpati dan menguatkan hati Bonda Upe. Kemudian Guruta membagi penjelasan atas jawaban Bonda Upe menjadi tiga bagian. Di akhir penjelasannya, Guruta merangkum dan mengatakan,”. . . Pahami ketiga hal itu, Nak, semoga hati kau menjadi lebih tenang. Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin”. Setelah mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Guruta, Bonda merasa lebih tenang dan akhirnya beristirahat.
Dari kisah Bonda ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa setiap orang pasti pernah memiliki dosa. Dalam hal dimaafkan atau tidak, itu mutlak merupakan hak Allah. Tugas manusia adalah untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan Ridha Allah. Manusia juga tidak akan pernah lepas dari suatu masalah. Ketika kita memiliki suatu masalah, maka kita tidak boleh lari begitu saja dari masalah tersebut. Kita harus kuat dan mencoba menghadapi masalah tersebut. Karena, semakin lama kita lari dari masalah, maka selama itu pula masalah akan terus memberatkan kita. Terkadang kita perlu menutup telinga dari olokan dan pandangan negatif orang lain kepada kita untuk menenangkan hati kita. Karena jika kita terlalu fokus mendengarkan pandangan negatif orang lain, kita akan semakin merasa diri kita memiliki banyak kekurangan, sehingga tidak bisa menjalani hidup dengan tenang dan melaksanakan aktivitas secara optimal.
--o0o--
Banyak orang yang menganggap bahwa Daeng Andipati merupakan orang paling bahagia. Daeng Andipati memiliki semua hal yang diinginkan oleh semua orang. Istri yang cantik dan sholihah, anak-anak yang cantik, lincah, dan cerdas, bahkan harta dan kehormatan selalu mengelilingi kehidupan Andipati. Namun, ternyata ada pertanyaan besar yang belum terjawab dalam kehidupan Daeng Andipati. Akhirnya pertanyaan itu terlontarkan kepada Guruta pada suatu malam, “Apakah makna sebenarnya dari kebahagiaan? Apakah aku bisa dikatakan bahagia, sedangkan selama hidupku aku memiliki kebencian yang sangat dalam kepada ayahku sendiri?”. Daeng Andipati pun menjelaskan bahwa ayahnya adalah sosok yang sangat kejam dan jahat kepada semua pegawai dan keluarganya. Ayahnya juga sangat licik dalam hal perdagangan dan mencari keuntungan. Sehingga, Daeng Andipati memiliki tekad kuat tidak ingin merasakan sedikitpun uang dari ayahnya dan memilih untuk mencari kehidupannya sendiri.
Guruta mendengarkan dengan cermat setiap detail penjelasan Andipati. Guruta berpikir sejenak dan mulai memberikan penjelasan dari pertanyaan Daeng Andipati. Seperti biasanya, Guruta membagi penjelasan menjadi tiga bagian dan di akhir penjelasan Guruta merangkumnya . . . Pikirkanlah ketiga hal tadi, Nak. Berhenti membenci ayahmu, karena kau sedang membenci diri sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru, bukalah lembaran baru. Semoga kau memiliki lampu kecil di hatimu.”
Dari kisah ini, dapat diambil pelajaran bahwa bagaimanapun juga keadaan orang tua kita, kita tidak boleh membenci mereka. Allah pun selalu memerintahkan agar kita menghormati dan bersikap lembut kepada kedua orang tua. Bahkan jika orang tua melakukan kesalahan yang besar, kita tetap harus menghormati mereka. Tanpa orang tua kita, maka kita pun tidak akan ada di dunia ini. Jika Allah saja memiliki sifat Maha Memaafkan, maka kita sebagai manusia pun harusnya bisa menerapkan sifat pemaaf agar kita memiliki hati yang tenang dan tanpa dendam. Selain itu, setiap orang juga pasti memiliki pengalaman buruk, namun sebaiknya pengalaman masa lalu itu dibiarkan berlalu. Kita hanya bisa mengambil pelajaran dan membuka lembaran baru kehidupan yang lebih baik untuk memperbaiki semua keburukan di masa lalu.
--o0o—
Perjalanan dan kisah dilanjutkan lagi dengan suasana yang menampilkan berbagai keromantisan sepasang kakek nenek yang juga jamaah Ibadah Haji. Di mana ada Mbah Kung (panggilan akrab kakek), di situ ada pasti Mbah Putri (panggilan akrab nenek) yang selalu menemani. Mbah Kung dan Mbah Putri pun selalu bergandengan tangan ke manapun mereka pergi. Sehingga tidak jarang membuat iri pasangan suami istri yang ada di sana. Bahkan, Mbah Kung dan Mbah Putri pun sering berbagi cerita romantis mereka untuk menginspirasi orang-orang disekitarnya, termasuk Daeng Andipati.
 Ana, anak Andipati yang memang memiliki karakter menyenangkan, cerdas, dan usil, beberapa kali diceritakan sebal karena Mbah Kung salah mendengar kalimat yang diucapkannya. Namun kejadian itu justru memicu gelak tawa orang yang berada bersama mereka.
 Keromantisan Mbah Kung dan Mbah Putri ternyata tidak bisa berlanjut sampai tiba di tanah suci. Mbah Putri meninggal saat perjalanan berada di tengah Laut Hindia dan jasad Mbah Putri akhirnya ditenggelamkan di samudera. Mbah Kung sangat sedih dan seolah tidak terima karena Mbah Putri meninggalkannya, bahkan sebelum mereka tiba di tanah suci. Sejak Mbah Putri meninggal, Mbah Kung selalu berdiam di kamar dan murung, sampai suatu malam Guruta menemuinya.
“Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak menunggu kami sampai di Tanah Suci dulu? Padahal kami sudah menginginkan perjalanan ini sejak lama.” Pertanyaan Mbah Kung meluncur begitu saja. Guruta mencoba memahami, kemudian menanggapi dengan sangat lembut dan hati-hati.
Seperti biasa juga, Guruta memulai penjelasan dengan menguatkan hati Mbah Kung, menjelaskan dengan rinci, serta merangkum “. . . Yang pertama, yakinilah kematian Mbah Putri adalah takdir Allah yang terbaik. Yang kedua, biarkan waktu mengobati semua kesedihan. Yang ketiga, lihatlah penjelasan ini dari kacamata yang berbeda. Semoga tiga hal itu bisa Kang Mas pikirkan, dan membantu menghibur penat di dalam hati.
Dari penggalan tersebut, kita bisa mengambil pelajaran bahwa Allah selalu memutuskan yang terbaik bagi umatNya. Terkadang manusia begitu mengharapkan sesuatu, ternyata dia tidak mendapatkannya. Dan mendapatkan sesuatu padahal dia tidak menginginkannya. Itulah kehendak Allah. Allah akan tahu apa yang terbaik untuk kita, sehingga apapun yang terjadi dalam kehidupan kita, seharusnya kita berusaha dan mengikhlaskan keputusan di akhir kepada Allah.
Selain itu, kita juga bisa mengambil pelajaran bahwa dalam memandang suatu masalah hendaknya kita tidak hanya memandang dalam satu kaca mata saja, tetapi, sebaiknya memandang dari banyak sisi. Sehingga kita tidak terpaku pada keburukan dan betapa menyusahkannya masalah itu. Kita tetap bisa melihat kebaikannya, sehingga hati kita lebih tenang.
--o0o--
Pertanyaan ketiga muncul secara tersirat dari pelaut Ambo Uleng. Ambo yang saat itu ingin pergi jauh dari tanah kelahirannya merasakan patah hati yang sangat mengganggu kehidupannya. Ambo merasa bahwa Tuhan tidak adil karena dia tidak bisa bersatu dengan wanita yang dicintainya. Dan ini merupakan alasan Ambo sampa rela tidak dibayar hanya untuk bisa ikut berlayar di kapal Blitar Holland.
Guruta seolah merefleksikan kisah Ambo kepada kisah cintanya dulu. Kemudian Guruta menjelaskan bahwa Ambo tidak boleh terlalu menyesali perpisahan itu. “Cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus melepaskan orang yang dicintai”. Kalimat itu merupakan rumus terbalik yang tidak dipahami banyak orang. Jika memang berjodoh, maka dengan skenario Allah yang mengagumkanlah mereka akan dipertemukan kembali. Jika tidak dipertemukan lagi, maka artinya mereka tidak berjodoh. Dalam penantian skenario indah itu, seharusnya kita terus memperbaiki diri dan menyibukkan diri dengan belajar
--o0o—
Guruta yang selalu bisa menjawab pertanyaan orang lain ternyata memiliki pertanyaan besar dalam hidupnya yang belum terjawab sampai sekarang. Sebagai ulama, Guruta yang seharusnya menjadi pemimpin di garis depan dalam melawan kemungkaran dan kedzaliman belum pernah merasakan hal itu. Guruta hanya melakukan perlawanan penjajah melalui karya-karya tulisan yang menggugah hati manusia untuk berani melakukan perlawanan, sedangkan dirinya belum pernah melakukan aksi nyata itu. Dia merasa menjadi orang yang munafik. Tapi, di satu sisi alasannya adalah karena Guruta tidak ingin kehilangan orang yang disayanginya lagi.
Kisah perampokan kapal Blitar Holland yang menyebabkan seluruh kapal dikuasai para perampok. Ambo Uleng yang pandai menyusun siasat berperang akhirnya memohon Guruta untuk memimpin pemberontakan jamaah. Ambo Uleng berhasil meyakinkan Guruta bahwa mereka bisa menang melawan perampok. Sekaligus, Ambo Uleng  berhasil menjawab pertanyaan besar Guruta, tentang aksi nyata melawan kemungkaran dan kekhawatiran Guruta kehilangan orang yang dia sayang. Jika kemungkaran tidak bisa dilawan hanya dengan lisan, maka harus dilawan dengan tindakan. Akhirnya, tim Ambo Uleng menang dan para perampok berhasil ditaklukkan dalam beberapa menit, di bawah pimpinan Guruta.
--o0o—
Kisah di novel ini berakhir dengan penuh kebahagiaan. Setelah para Jamaah Haji menyelesaikan ibadahnya, ternyata Mbah Kakung meninggal dalam perjalanan pulang, tepat di area Mbah Putri meninggal, sehingga jasad mereka pun akhirnya tenggelam bersama di dasar laut. Andipati Daeng mulai menjalin keluarga yang telah lama memiliki masalah relasi. Dan akhirnya Ambo Uleng pun dengan skenario indah Allah bisa dipertemukan dan disatukan lagi dengan wanita yang dicintainya.
--o0o--
Pada novel ini Tere Liye menampilkan suasana yang tidak terduga dalam tulisannya. Dengan judul “Rindu” banyak yang berpikir bahwa ini adalah novel tentang kisah yang romantis. Namun ternyata, di sini banyak disuguhkan sejarah Indonesia dan situasinya saat penjajahan Belanda, serta kisah yang banyak terjadi saat perjalanan Ibadah Haji. Tere Liye juga menampilkan sudut pandang yang berbeda dalam menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia jaman itu. Jika kebanyakan sejarah mengatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia saat itu sangat menderita dan penjajah Belanda sepenuhnya kejam. Pada novel ini, situasinya sedikit berbeda. Masih banyak orang Belanda yang memanusiakan dan menghormati penduduk pribumi. Bahkan tidak sedikit masyarakat Belanda sendiri yang menentang adanya praktik penjajahan Indonesia.
Selain situasi, gaya bahasa dan situasi yang digunakan Tere Liye pun sederhana, namun penuh dengan makna yang bisa dipahami oleh setiap orang. Setting yang digambarkan daam cerita ini hanya kehidupan di kapal dan sedikit kisah di pelabuhan saat kapal singgah, namun diksi yang dipilih sangat tepat, sehingga membuat cerita dalam novel ini seolah benar-benar ada dan “hidup”. Bahkan ada beberapa percakapan yang ditampilkan dengan Bahasa Belanda, sehingga proses pembuatan novel ini kemungkinan besar didukung banyak literatur.
Buku ini pun memiliki sampul yang sangat sederhana dan elegan. Sinopsis yang hanya disajikan dalam lima bagian membuat pembaca sangat penasaran dengan isi novel ini. terlebih lagi karena pada sinopsis hanya ditampilkan lima pertanyaan sekaligus permasalahan utama dalam novel.
Kekurangan novel Rindu Karya Tere Liye ini  bagi sebagian orang karena terlalu tebal, sehingga pembaca butuh meluangkan waktu yang cukup lama untuk membaca sampai tuntas.

With Love, 
Yunisa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibuk

Bapak

Adek