Rantai Sastra, Sosial, dan Psikologi
Aku memiliki seorang sahabat yang
manis dan lugu. Banyak yang bilang dia adalah “Super Mario” nya TOSAR (Ambalan
Kretarto Dewi Sartika-SMAN 2 Jombang). Setiap orang sangat suka bercerita dan
mengadu padanya, dan banyak diantara mereka yang merasa puas jika sudah
menyampaikan uneg-uneg mereka padanya. Tidak heran mereka melakukan itu, karena
bisa dipastikan apa yang sahabatku sampaikan sebagai feedback adalah yang
dibutuhkan orang tersebut. Bukan hanya sebuah dukungan moral dan nasehat,
bahkan kadang feedback berupa
penabrakan fakta dan logika berfikir disampaikannya dengan bijak. Sehingga,
harapannya orang tersebut bisa lebih “berpikir” dan juga berusaha menyelesaikan
masalahnya sendiri.
Dia pernah bilang “aku tidak akan bisa
dipisahkan dari sastra, sosial, dan psikologi”. Ya, memang sahabatku benar. Jika
dihubungkan, ketiga bidang itu saling terkait secara sinergis satu sama lain.
Sastra, sosial, dan psikologi merupakan bidang yang saling berkomplementer
untuk mengaji kehidupan manusia. Jika ketiganya diintegrasikan dengan baik,
maka kemampuan analisa, pemahaman, logika berpikir, dan praktik mengatasi
masalah seseorang akan menjadi lebih komprehensif.
Dalam kajian psikologi yang berfokus
pada perilaku manusia dan proses mental yang melatarbelakanginya, seseorang
dapat memperkaya ilmu tentang sebab-sebab masalah, proses yang mengiringi,
keadaan psikis seseorang, serta teknik yang tepat untuk membantunya
menyelesaikan masalah.
Dalam kajian ilmu sosial seperti
sosiologi, antropologi, dan sosiatri, dapat pula ditarik garis merah tentang
peran orang lain, kelompok, dan masyarakat atau aspek sosial yang
melatarbelakangi munculnya masalah pada seseorang. Sehingga, jika digunakan
untuk mengatasi permasalahan seseorang, akan ada makna tersendiri dari peran
sosial, kehidupan, dan kondisi orang-orang di sekitarnya pula yang membuat
seseorang bermasalah, atau merasa ada yang salah.
Dalam kajian sastra memang tidak
memberikan penjelasan mengenai dinamika kehidupan seperti layaknya psikologi
dan ilmu sosial lainnya. Namun, dari sastra lah kita bisa tau banyak sudut
pandang orang dalam memaknai sebuah kehidupan dari karya-karya yang dihasilkan
para penulis. Banyak cara hidup dan petuah kehidupan dari seseorang yang telah
mengarungi berbagai masalah kehidupan yang dituangkan menjadi sebuah karya
tulis. Sebagian penulis yakin bahwa
selain ilmu mereka akan diabadikan dan bermanfaat untuk orang lain, penulis
bisa mengekspresikan seluruh pemikiran, ide, dan cerita melalui sebuah karya. Dengan
demikian, jika posisi kita sebagai pembaca, maka akan banyak ilmu yang bisa kita
diperoleh.
Sahabatku juga sangat suka membaca,
buku apapun dilahapnya dalam berbagai waktu. Walaupun buku favoritnya adalah
novel, namun tidak jarang aku menjumpainya sedang membaca komik, ensiklopedia,
biografi tokoh, buku pengembangan diri, buku agama, pengetahuan umum, dan yang
tidak ketinggalan adalah buku mata pelajaran dan mata kuliah yang sedang dia
ambil.
“Apa jadinya kita tanpa buku?” begitu
katanya. Ya, memang kita bisa mendapatkan banyak ilmu buku. Dan kita perlu
mengembangkan pengetahuan kehidupan dari karya sastra tentang psikologi dan
ilmu sosial lainnya. Pepatah mengatakan bahwa buku adalah sumber ilmu. Buku juga
sebagai jendela dunia. Buku juga menjadi tolok ukur kebijaksanaan seseorang.
Kualitas perkataan seseorang pun bergantung dari banyak dan kualitas buku yang
dibacanya. Jika kita memanfaatkan waktu untuk membaca buku, menikmati setiap
ilmu yang bisa kita serap, dan menerapkan ilmu itu dalam kehidupan sehari-hari,
maka kehidupan yang kita jalani akan lebih indah dan bermakna. Kita akan
memiliki banyak perspektif dalam memandang suatu masalah dan mengatasinya.
Tidak ada salahnya membaca buku di luar bidang yang sedang kita geluti. Justru
akan memperkaya pengetahuan kita. (yss)
Dialah Arie Eka Junia, inspirator dan
motivatorku J
-Gemini-
Komentar
Posting Komentar